Cerita Sang Ayah

“Ayah, akankah kita melihat matahari terbit lagi?”


“Tentu. Ayah janji kali ini kita bisa melihatnya lebih lama,” 


———————————

“Nah. Sekarang bukalah kedua matamu.” ucap sang ayah pada anaknya.

Sedetik kemudian terdengar helaan nafas; keheningan yang sarat akan kekaguman, lebih tepatnya. Tak lebih dari itu. 

Di hadapan mereka, langit tampak jelita. Fenomena khas ufuk timur terlukis disana. Lengkap dengan bias warna lembayung jingga sang mentari. Seakan langit menunjukkan keelokannya. 

“Cantik sekali,” ucap si bungsu penuh kagum.

“Ya. Dan ayah tidak keberatan bila kau ingin mengamati sedikit lebih lama,” 

“Benarkah?”

“Tentu. Apapun untuk hari ulang tahunmu, Nak.” 

“Asyiiiiiiiik,” kedua kaki mungil si bungsu memantul-mantul ringan di atas dahan yang ia pijak. 

“Hahaha..tapi kau harus ingat, kita harus segera kembali menuju sarang,”

“Baik, ayah.” 

Menit-menit berlalu. Pagi menjelang. Cahaya kemerahan berganti menjadi kekuningan; ini berarti mereka harus segera pergi ke sarang dan menunggu hingga matahari tenggelam seperti biasa. 

Perjalanan mereka menuju sarang tidaklah terlalu jauh. Di atas warna-warni tanaman berbunga yang dikelilingi rerumputan liar dan pepohonan yang rimbun, mereka terbang melewati beberapa hewan lain seperti serangga, burung-burung, dan bahkan hewan-hewan ternak seperti ayam dan sapi. Sesekali si bungsu juga memerhatikan beberapa manusia dari kejauhan yang mengawali hari mereka.

Si bungsu menelan ludah. Ada sesuatu yang janggal yang perlu ia bicarakan dengan ayahnya namun ia memilih untuk melanjutkan mengepakkan sayap, kembali ke tempat gelap bersama yang lain. 

Sesampainya mereka di sarang, setelah mendarat di tempat yang manusia kenal dengan sebutan langit-langit gua, si bungsu berkata, “Ayah, aku ingin nanti ayah bercerita lagi.”

Sang ayah tertawa ringan. “Hari belum akan berganti setelah kita bangun nanti. Tentu. Cerita apa yang ingin kau dengar, Nak?” 

Si bungsu berpikir sejenak. Ia tampak tidak yakin ingin memberi jawaban apa. 

“Cerita tentang serangga tersesat! Oh, tunggu. Cerita tentang manusia pemburu ular berbisa kalau tidak salah kemarin belum selesai, kan Yah?” timpal kelelawar lain.

Si bungsu berkata dengan kesal. “Kemarin kau tidur lebih cepat, Kak. Lagipula hari ini hari ulang tahunku jadi aku bebas ingin diceritakan tentang apa saja.”

“Baiklah.” Si sulung mengalah. “Tapi aku boleh ikut mendengar ceritanya juga, kan?” godanya. 

Sang ayah hanya menatap si bungsu seolah memberi kesempatan baginya untuk menjawab. 

“Tentu saja. Aku hanya ingin mendengar cerita tentang kelelawar malang.”

“Kelelawar malang?” tanya si sulung heran. “Cerita tentang kelelawar yang menyelinap keluar di siang bolong sehingga akhirnya sayapnya terbakar itu? Itu kan cerita kuno!”

“Aku tahu. Hanya saja kali ini ceritanya dihubungkan dengan…cerita serangga yang tersesat! Bagaimana, yah? Bisa kan?”

Sang ayah tertawa pelan. “Tentu. Mau sekalian dihubungkan dengan kisah tanaman teratai?” 

“Wah, boleh, boleeeeh!” seru si bungsu riang yang kemudian disusul dengan suara protes dan gerutu dari beberapa kelelawar lain yang terganggu tidurnya. Ia lantas meminta maaf. 

Si sulung kemudian berbisik, “Ugh. Lebih baik aku memangsa serangga di tepi danau bersama ibu saja nanti malam,” kemudian ia berlalu dan bergelantung persis di samping ibunya yang sudah tampak tertidur.

“Ayah?” bisik si bungsu tak lama kemudian, setelah ia dan sang ayah bergelantung berdampingan. Dari langit-langit samar-samar terlihat cahaya buram memasuki dasar gua. 

“Ya?” balas ayahnya berbisik.

“Sebenarnya aku ingin…”

“Katakan saja pada Ayah, Nak. Pertanyaan, keinginan, apapun itu.” 

Si bungsu merasa sedikit lega sekarang. Ia pun berbisik. “Ayah, adakah kisah yang menjelaskan alasan kelelelawar tidak bisa keluar pada siang hari? Atau semacam…asal-usul yang menjadikan kita makhluk malam?” bisiknya.

Si bungsu berdusta di hadapan si sulung, sang ayah mengerti. Mengajukan pertanyaan sekaligus keinginan, tentu tidaklah masalah. Ia bahkan mengakui bahwa si bungsu lebih cerdas dibanding si sulung meski di sisi lain kelebihan si sulung yaitu lebih gesit dan peka dibanding si bungsu. Namun ia tak pernah dibuat sekaget ini. Ia bahkan langsung membuka kedua matanya lebar-lebar begitu mendengar pernyataan anaknya.

Tapi justru sifat inilah yang sang ayah kagumi dari makhluk jantan satu ini. “Tentu saja ada, Nak.”

“Benarkah? Apa judul ceritanya, Yah?” tanya si bungsu, tak lupa merendahkan suaranya.

“Kelelawar dan matahari” jawab sang ayah.

***
lebih lanjut