Cerita Pendek: Pertunjukan Bustam – Shell Fiand

Bustam

 

Anak itu berlari. Setiap pijakan dan hentakan membuatnya semakin menjauhi desa, mendekati hutan lebat di sebelah barat. Dari jarak puluhan meter, terlihat asap keabuan menodai lembayung senja. Mengotori semburat jingga nan jelita.

Jantung anak itu takkan berdetak tak beraturan seandainya ada orang lain yang memadamkan api ganas itu. Tubuhnya takkan berkeringat dingin seandainya ia tak berlari sendirian di antara pohon-pohon jati yang menjulang.

“Kebakaran! Kebakaran!”

“Bagaimana ini? Ketika aku mendekati hutan luar tubuhku bahkan terpental. Kami semua terpental.”

“Tidak ada yang bisa memadamkan kebakaran itu.”

“Bustam pasti bisa!”

“Ya, anak itu pasti bisa.”

“Tolong kami, Bustam. Desa ini membutuhkanmu untuk memadamkan api itu.”

“Hutan luar membutuhkanmu, Bustam.”

Segala yang berada di hutan luar mengingatkan anak itu pada mendiang sang ibu. Dari tanah, dedaunan, bunga, bahkan sampai aliran sungai. Warga desa menyebut wilayah tersebut sebagai hutan luar karena tidak ada satu pun di antara mereka yang bisa memasuki wilayah itu. Setidaknya hanya ada dua orang yang bisa memasuki, memanfaatkan tanaman, dan mengenal wilayah itu dengan baik; Bustam dan mendiang ibunya, Sadirah.

Masuk ke hutan luar sebenarnya mudah. Susuri jalan ke arah barat dan kau akan menemukan tanah yang landai. Turun saja terus hingga kau menemukan tanah yang lebih subur, maka kau telah sampai di hutan luar.

Satu hal yang istimewa dari wilayah itu adalah dedaunan dan bunga-bunga yang jarang didapati di wilayah lain. Daun Engkek untuk bahan utama ramuan obat penyakit luar, akar Bunga Siloam untuk obat penyakit dalam, Bunga Liasan untuk menjaga kelembapan kulit, dan masih banyak lagi. Dulu, Sadirah sering pergi ke sana untuk menolong warga desa. Ia bahkan bersedia membuatkan ramuan-ramuan dengan sukarela, tapi warga desa selalu tak pernah merasa cukup hanya dengan mengucapkan terima kasih. Mereka memberi Sadirah pakaian, menu hidangan yang enak, meminjamkan kuda, dan lain sebagainya. Sejak wanita itu meninggal, rutinitas Sadirah diteruskan oleh Bustam, tapi seiring waktu, warga desa menemukan berbagai tanaman lain yang memiliki khasiat kurang lebih sama seperti tanaman-tanaman di hutan luar. Mereka bilang, mereka tidak ingin merepotkan Bustam. Tidak seharusnya anak berusia sebelas tahun memiliki rutinitas seperti itu. Kata mereka, ia lebih baik mempelajari hal lain saja.

Kendati begitu, Bustam selalu memastikan hutan luar selalu terawat. Menjelajahi wilayah itu saja sudah cukup. Tidak pernah ada rumput liar atau hama. Di sana, dedaunan kering akan terurai menjadi mikroorganisme lain. Cuaca buruk pun tak pernah memengaruhi pertumbuhan tanaman-tanaman di sana. Tidak sekalipun. Kata Sadirah, wilayah itu hanya membutuhkan sosok penjaga.

Tapi, bagaimana Bustam menjaga hutan yang sudah telanjur dirusak oleh api? Tidak. Sebagian hutan luar masih baik-baik saja. Satu-satunya yang terganggu hanya sebatang pohon jati—terbakar dan menguarkan panas. Satu pohon saja. Meski begitu, bagaimanapun Bustam harus mencari cara agar bisa menyelamatkan pohon tersebut.

“Ibuuu,” lirih anak itu. “Bagaimana aku bisa memadamkannya? Bahkan dedaunannya sudah termakan api.” Ia mulai terisak. Bisakah ia meminta agar diturunkan hujan saja? Atau ia harus menggunakan air sungai untuk ….

Air sungai! Anak laki-laki itu segera menghambur ke sungai dengan semangat yang membara, mengalahkan bara api di pohon tadi.

Ada dua ember di dekat sungai, jadi Bustam bisa membawa dua ember itu sekaligus. Tubuh anak itu memang kurus, tapi otot-otot di balik kulitnya sudah terlatih dan kuat. Merasa sedikit lelah setelah menempuh setengah perjalanan, ia mengangkat satu ember di atas kepala, sedangkan ember lainnya dibawa oleh tangannya yang bebas.

Bustam baru saja menaruh kedua ember di tanah ketika suara mendesis terdengar. Kedua tangannya baru mengangkat salah satu ember ketika ia kembali menatap pohon dan mendapati bara api telah berkurang hingga padam dengan sendirinya.

 

Continue reading “Cerita Pendek: Pertunjukan Bustam – Shell Fiand”

Rencana Mereka

RM-crpn

 

(terinspirasi dari film ‘Awake’ dan cerita novel ‘The Host’)

Bumi. Fana. Tempat manusia menjalani kehidupan. Dengan seluruh sumber daya alam dan juga sumber daya manusianya, kukira bumi akan selalu memiliki harapan untuk bertahan. Atau setidaknya, peluang itu akan selalu ada.

Kenyatannya tidak. Banyak juga yang justru mempersempit peluang itu sendiri. Sebut saja penggundulan hutan, monopoli persediaan air bersih, penimbunan sumber daya alam, pencemaran limbah, dan masih banyak hal-hal buruk serupa yang terjadi pada bumi ini. Peningkatan suhu serta mencairnya es-es di kutub yang—menurutku—dapat dikatakan sebagai bentuk ‘tangisan bumi’ juga seolah tidak menghentikan mereka yang tidak bertanggung jawab.

Mereka. Ketika kukatakan mereka, yang kumaksud adalah para petinggi dalam golongan yang disebut ‘Klorenh Eary’ (KE) atau yang dalam bahasa manusia adalah ‘penguasa bumi’. Mereka bertempat tinggal di planet luar bumi tepatnya Planet Tiares, dan tujuan mereka datang ke bumi hanyalah satu: mengambil sumber daya bumi yang nantinya akan mereka gunakan untuk planet mereka sendiri.

Ini benar-benar miris. Hal ini juga menimpa tetanggaku, Desy, yang kehilangan suaminya Mark, sewaktu Mark menyergap komplotan ‘Klorenh Eary’ di daerah Minasa. Setelah kejadian itu, menyusul berita bahwa pasukan penyergapan ketika itu menghilang tanpa kabar dan kuat diperkirakan bahwa Korps Pertahanan Bumi (KORHAB) yang melakukan penyergapan ketika itu telah diambil alih oleh Komplotan KE. Tidak ada harapan untuk menyelamatkan kelompok KORHAB karena dapat dipastikan mereka telah dicuci otak dan menjadi budak Komplotan KE. Dengan kata lain, untuk waktu yang akan datang mereka akan kembali hanya untuk melakukan tugasnya: mengambil hasil bumi sebanyak-banyaknya secara diam-diam dan terencana.

Itulah yang membuatku selalu khawatir terhadap adikku, Darren. Ia adalah mahasiswa di Universitas Yakama dan tahun depan adalah tahun kelulusannya.

Darren memanglah sudah dewasa, tapi bagiku ia tetaplah adik kecilku yang selalu kurindukan. Selain pintar, ia juga cerdas. Tak heran ia memiliki banyak teman dan juga tidak sedikit dosen-dosen yang sering mengajaknya berpartisipasi untuk melakukan penelitian.

Begitu pula dengan dua bulan yang lalu. Salah satu dosennya—aku lupa siapa nama beliau—mengajaknya sebagai asisten peneliti dosen tersebut melakukan penelitian terhadap masyarakat pedalaman Pulau Astarin yang belakangan terkena penyakit Chikuga serta kaitannya dengan ritual penghalau penyakit di sana. Awalnya aku tidak merasakan kejanggalan, sampai akhirnya berita mengejutkan itu terdengar.

Bahwa KORHAB kehilangan kontak dengan para penduduk Pulau Astarin dengan ditandainya Pulau Astarin yang kosong tanpa penghuni sama sekali.

Dan itu berarti Darren juga menghilang.

Continue reading “Rencana Mereka”

The Hidden Pearl

img27

Nyanyikanlah aku senandung sendu
Agar rindu kan menemukan jalannya
Meski desir angin menghapus jejaknya

===

Tidak ada yang menyangka bahwa turnamen Sekolah Venroth yang ke tiga puluh tujuh akan berubah menjadi mimpi buruk.

Sebut saja kecelakaan. Seandainya cuaca buruk di hari pertama turnamen sudah dapat diprediksi, kecelakaan yang membuat Garda terluka parah tidak akan terjadi dan turnamen dapat berlanjut dari hari ke hari seperti biasa.

Tidak ada kesibukan di antara wajah-wajah antusias yang biasanya terlihat saat turnamen. Atau gelombang semangat yang terasa di seantero sekolah Venroth. Yang ada hanyalah kesibukan di tengah kecemasan dan kekhawatiran. Adapun golongan yang paling sibuk tentunya tim penyembuh berikut guru-guru bidang ramuan dan pengobatan serta murid-murid yang secara sukarela bergabung dalam tim penyembuh.

Para murid yang tergabung dalam tim tersebut tentu tahu apa saja yang harus mereka lakukan. Satu kali rapat kilat saja dan mereka langsung bergerak sedemikian gesitnya. Mereka juga tahu tumbuh-tumbuhan apa saja yang harus dikumpulkan untuk diramu, ramuan apa saja yang harus digunakan, dan lain sebagainya.

Luka yang mereka tangani kali ini termasuk yang terparah. Di samping fakta bahwa memang hampir selalu ada korban cedera di balik turnamen, belum pernah ada luka yang membutuhkan begitu banyak ramuan, penyembuh, dan sihir (mengingat luka dalam Garda membutuhkan sangat banyak ramuan sehingga disepakati penggunaan sihir sebagai biusnya).  Ditambah, baru kali ini ada seekor naga terluka di hari turnamen. Dan naga yang terluka itu bernama Garda.

Lanjut baca

Cureless

 

Jantungku nyaris terhenti ketika pandangan hewan itu mengarah padaku. Tepat ke arahku, mengunci gerak tubuhku. Aku menelan ludah, memastikan bidikan panahku tertuju ke suatu titik pada tubuh hewan itu…sebelum terlambat.

Menyadari sesuatu, rusa itu pun berlari secepat yang ia bisa sebelum akhirnya ambruk ke tanah dan seolah meronta-ronta memohon pertolongan.

Terlambat. Sebuah anak panah sudah tertancap dengan mantap di tubuhnya dan sebentar lagi ia akan menjadi santapan seseorang.

Seseorang. Bukan aku. Bukan anak panahku yang melukai tubuh rusa tersebut. Siapapun itu, ia memanah dari arah yang berlawanan denganku. Ah, seharusnya aku mengetahuinya dari awal. Tanpa kusadari kedua tanganku terkepal erat, terlalu berat rasanya bagiku untuk kembali kehilangan buruanku.

Aku pun mengangkat tasku dari tanah dengan marah, mengakibatkan beberapa koin dari dalam tasku terjatuh berceceran ke tanah.

Ah, sial! Aku bahkan harus sembunyi-sembunyi untuk mengambil semua koinku yang terjatuh agar tidak diketahui si pencuri buruanku itu. Ada sekitar empat koin milikku yang menggelinding dan untungnya aku dapat mengambil koin-koin itu sebelum benda berharga milikku tersebut menggelinding lebih jauh.

Setelah memasukkan koin-koinku ke dalam tas secara hati-hati aku akhirnya memutuskan untuk tetap bersembunyi di balik semak-semak sambil terus bergerak menjauhi tempat sialan ini.

“Apa ini koin milik…mu?” tanya sebuah suara yang kurasa berasal dari arah belakang. Tak salah lagi. Pemilik suara itu pasti si pencuri buruanku itu!

Adalah sebuah kebodohan bila aku membalikkan badan dan lebih memedulikan koin satu penn yang kini berada di tangan gadis itu. Daripada membayangkan apa yang akan terjadi bila gadis itu melihatku, lebih baik aku pergi. Sekarang.

“Hei, tunggu!” cegahnya. Kupercepat pergerakan kedua kakiku tanpa menghiraukannya.

Suara gadis itu masih terdengar lebih jelas. “Hei! Tunggu! Jangan pergi!” serunya.

Pergilah! Jangan pedulikan aku dan makan saja buruanmu sana! Aku berteriak dalam hati.

“Hei! Aku ingin bicara denganmu!” teriaknya lagi.

Aku benar-benar tidak mengerti kenapa gadis itu memaksaku untuk mengambil koinku itu. Dia sinting atau apa? Aneh sekali. Lagipula apa urusannya denganku? Kenapa dia bahkan memilih untuk meninggalkan buruannya dan bersikeras—

Tubuhku hanya bisa bergeming begitu sebuah anak panah menancap sekitar setengah senti dari telinga kiriku.

Yang benar saja! Ia bahkan sengaja memanah sebuah pohon di dekatku untuk dapat menghentikanku. Ha. Kurasa dia ingin menantangku untuk adu kemampuan memanah.

Aku bergeming selama dua kedipan mata. Menyadari keberadaan gadis itu semakin mendekat, aku akhirnya membalikkan badan dengan terpaksa.

Tidak sedekat yang kukira. Gadis itu memang masih jauh dari tempatku berdiri namun aku dapat menilai pergerakan tubuh gadis itu.

Aneh. Ini sungguh aneh. Dalam perkiraanku, gadis ini akan berteriak ketakutan dan berlari menjauh setelah melihat wajahku. Setidaknya seperti itulah reaksi orang-orang lainnya yang melihat wajahku atau bahkan penampilanku.

Tidak seperti gadis ini. Ia lain. Ia tidak berlari ketakutan ataupun berteriak begitu melihat wajahku. Sebaliknya, ia justru tampak ingin membicarakan sesuatu padaku. Sesuatu yang sama sekali tidak bisa kutebak.

Kedua matanya sewarna kayu basah. Rambutnya yang dibiarkan tergerai begitu sewarna dengan bunga mawar hitam. Kulitnya yang hanya terbuka di sekitar mata dan tangannya sewarna dengan zaitun.

Aku juga tidak mengerti kenapa ia menutupi hampir seluruh kulit tubuhnya seperti itu. Hal itu tampak wajar bila ia berpenampilan buruk rupa sepertiku namun rasanya amatlah ganjil bila gadis di hadapanku ini berpakaian tertutup terutama di siang bolong seperti ini.

Siapa sebenarnya gadis ini?

“Ini koinmu.” katanya sambil menyerahkan koin milikku.

Harus kuakui aku terkejut sendiri mendapati gadis ini yang tidak merasa jijik bersentuhan denganku.

“Jadi…” aku berdeham untuk bicara dengan jelas dan menutupi keterkejutanku. “Kau memanggilku bukan hanya untuk mengembalikan koinku, kan?”

Gadis itu menggelengkan kepala dengan singkat. “Aku perlu bicara denganmu.”

Aku hanya bisa mengerutkan keningku.

“Kurasa aku butuh teman untuk menghabiskan buruanku.” Gadis itu kemudian berlalu meninggalkanku, mengisyaratkanku untuk mengikutinya.

Siang itu aku benar-benar makan enak. Makan hasil buruan orang lain memang merupakan kenikmatan yang takkan pernah kulupakan.

“Enak!” ucapku sebelum melahap daging rusa panggang terakhir. “Ini daging terlezat yang pernah kumakan!”

“Syukurlah.” ucap gadis itu. “Makan saja sebanyak yang kau mau.” Gadis itu kemudian memotongkan bagian kaki rusa panggang yang cukup besar untukku.

“Makan saja. Aku sudah kenyang.”

Bahkan perut dan lidahku tak sanggup untuk menolak tawaran itu.

Aku kemudian menyadari sesuatu. “Hei.Aku tidak melihat kau makan.” Dan aku juga tidak melihat kau melepas cadarmu ketika makan, tambahku dalam hati.

Gadis itu hanya memusatkan pandangannya pada sisa-sisa lidah api yang memancarkan cahaya berwarna kuning menyala di antara kayu-kayu. “Kau makan terlalu cepat.”

Aku nyengir. Sudah ditawari makan enak, diberi makan jatah lebih pula. Apa gunanya menolak?

Jadi aku pun menikmati santapanku itu. Awalnya aku sempat curiga dengan perilakunya yang kelewat ramah ini tanpa bisa mengusir anggapan bahwa ia pasti menginginkan sesuatu dariku namun rasanya konyol bila aku meyakini anggapan tersebut. Apa yang gadis ini butuhkan dari seorang pemuda yang buruk rupa sepertiku? Betapa konyolnya anggapan itu.

“Jadi…apa yang akan kita bicarakan?”

Gadis itu menghela nafas sejenak sebelum berkata, “Kutukan.”

Aku nyaris tersedak. Untungnya kegiatan makanku sudah selesai jadi aku tak perlu khawatir akan bereaksi secara berlebihan.

“Oh. Mungkin maksudmu adalah kutukanku.”Aku mengoreksi.

“Tidak, bukan.”

“Apa?”

Hal yang selanjutnya terjadi sama sekali di luar perkiraanku. Ia membuka cadar yang menutupi sebagian wajahnya, memperlihatkan sesuatu yang sedari tadi ia tutupi.

Ada sorot kesedihan dalam matanya. Bibirnya yang semerah delima melengkung muram, begitu pula dengan suaranya yang tidak selugas sebelumnya. Murung.

Agaknya sekarang aku mengerti mengapa gadis ini menutupi sebagian wajahnya dan berpakaian serba tertutup.

Dia adalah gadis tercantik yang pernah kutemui. Tatapannya laksana perairan tenang namun menghanyutkan. Hidungnya bak pahatan, tidak terlalu mancung ataupun cekung. Selain pipinya yang merona alami, bagian yang paling menarik perhatianku adalah bibir merah alami miliknya yang tipis sempurna. Sungguh jelmaan kesempurnaan. Anggun dan menawan.

Aku tidak tahu berapa lama aku menatapnya dengan penuh kagum. Aku hanya bisa merundukkan kepala karena malu begitu ia kembali memakai cadar hitamnya, menyadarkanku kembali ke kenyataan.

Kenyataan. Setidaknya ini memang bukan mimpi. Degupan jantungku yang masih berpacu begitu cepat menambah keyakinanku bahwa semua ini memang bukanlah mimpi. Gadis istimewa yang ada di hadapanku adalah nyata meski menurutku ia terlalu sempurna untuk ukuran manusia.

Jadi itulah alasannya. Alasan ia menutupi sebagian wajahnya. Melindungi diri. Melindungi kecantikannya yang…

Lagi, aku terhanyut dalam pikiranku sendiri hingga akhirnya suara muram gadis itu menyatakan sesuatu yang tidak bisa kupercaya. Sesuatu tentang kecantikannya yang baru saja ia tunjukkan padaku.

“Karena aku juga dikutuk sepertimu.”

===

Continue reading “Cureless”