Sudah lama si gadis ingin menceritakan ini semua pada dunia. Terlalu dalam ia menyimpan semua ini untuk dirinya sendiri. Sekarang adalah waktunya bagi si gadis untuk meluapkannya.
Kisah ini ia alami bahkan sebelum usianya genap empat belas tahun. Ketika itu, ia hanya siswi SMP biasa yang selalu menjepit rambut keritingnya dan cukup sering bolak-balik ke kantin hanya untuk jajan makanan murah dan minuman kemasan seraya mengobrol dengan teman-temannya.
Ia begitu sibuk dengan dunianya sendiri; tak sadar dirinya kerap diperhatikan seorang pemuda sebayanya.
Hingga akhirnya, si pemilik rambut keriting sebahu itu mendapati sang pemuda tersenyum padanya. Senyum yang tulus. Kelewat tulus, malah. Hanya saja, si gadis malah kebingungan alih-alih membalas senyum itu.
Padahal, si pemuda seolah tak ada kapoknya untuk tersenyum pada gadis itu. Mungkin, si pemuda juga merasa malu. Tak pernah ada sapaan apalagi percakapan di antara mereka.
Gadis yang malang. Di saat hatinya mulai berdebar-debar tak keruan setiap kali ia berada di sekitar si pemuda, senyum tulus itu tak pernah lagi dialamatkan padanya. Tersebarlah kabar—ralat, fakta—bahwa si pemuda berpacaran dengan gadis lain. Si jago basket berpacaran dengan gadis cantik berambut panjang. Bagaimana itu bisa terjadi? Si gadis malang tentu saja tak tahu.
Si gadis bahkan terlalu polos untuk memahami arti patah hati. Betapa sangat lugu, bukan? Tapi, gadis itu tak peduli. Ia tetap gemar mencuri-curi pandang pada si pemuda. Entah ketika si pemuda sedang berwudu, atau ketika si pemuda bermain bersama timnya di lapangan, pokoknya sering. Si gadis benar-benar tak memedulikan si pemuda yang tak pernah lagi memperhatikannya atau tersenyum padanya.
Satu hal yang pasti, si gadis tak pernah melihat si pemuda terang-terangan berpacaran dengan si cantik itu. Melihat kedua sejoli tersebut duduk bersandingan saja tak pernah. Semua itu lebih dari cukup bagi si gadis malang.
Seakan belum cukup menyedihkan, suatu kali saat si gadis tengah berlari, ia mendapati si pemuda berada tak jauh dengannya. Salah tingkah tak terelakkan. Si gadis sukses mencium aspal. Bagian ‘terbaik’-nya, ia jatuh tersungkur dan mengakibatkan lengannya terluka cukup dalam.
Si gadis malah tertawa dengan polosnya. Tertawa sekaligus malu.
Tahukah kalian, ia tak pernah menyerah terutama untuk mendoakan si pemuda. Sorot mata hangat menenangkan. Senyum tulus yang menentramkan. Bagaimana itu semua dapat dilupakan?
Seiring bergulirnya waktu, mereka pun melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Terpisah tanpa ada perpisahan di antara keduanya. Kesibukan-kesibukan baru menyapa.
Semua itu berlangsung hingga kabar buruk itu datang. Sebuah kecelakaan merenggut nyawa si pemuda. Ia pun berpulang, tak lagi memijak dunia.
Tahukah kalian, sangat banyak orang yang merasa kehilangan sosoknya. Sosok si kalem. Si jago basket. Sosok yang selalu menghormati orang-orang di sekitarnya.
Bagaimana dengan si gadis? Sebenarnya ia begitu ingin menangis, tapi tidak bisa. Tersenyum pun, tak kuasa.
Jadi, si gadis mendoakannya. Mendoakan sang pujaan. Berharap jiwa si pemuda dapat tenang untuk selamanya.
Pun untuk memaafkan si pemuda yang tak pernah membalas cinta monyetnya. Kepada yang telah memberi banyak pelajaran berharga bagi si gadis bahwa hidup adalah selalu tentang melakukan yang terbaik.
Bahkan sampai detik ini pun, si gadis masih senantiasa mendoakan si pemuda. Karena ia sadar, ia bukanlah sosok spesial dan hanya berhak untuk mendoakan si pemuda. Tak lebih.
Gadis itu, aku.
-Shelly Fw, 11 Maret 2017-